Jumat, 13 Juni 2014

Rendah, Apresiasi Siswa Terhadap Karya Sastra

Oleh: Hasnelti (Guru SMAN 2 Lubukbasung)

Sastra adalah sastra. Sastra bukanlah mengadopsi manusia, melainkan melahirkan manusia yang beragam. Di antara manusia yang dilahirkannya, Siti Nurbaya, Zainuddin, Ikal, Ibu Muslimah, Alif dan beratus tokoh lainnya yang lahir dan dibidani  penulis terdahulu dan pengarang mutakhir.

Dunia sastra tidak berhenti menggeliat. Bergerak dinamis dan berkembang pesat sesuai dengan kemajuan dunia. Sebagai guru dan penikmat sastra, saya senang dan bersyukur dengan kemajuan sastra di Indonesia akhir-akhir ini. Tapi, di sisi lain, apresiasi siswa terhadap sastra semakin berkurang.

Sebagai guru Bahasa Indonesia yang mengajar lebih kurang 30 tahun, saya merasakan betapa kecilnya persentase siswa yang membaca karya sastra. Mereka tidak lagi mengenal karya angkatan Balai Pustaka, karya angkatan 30-an maupun karya mutakhir.

Saya yakin, masih banyak guru yang tidak henti memotivasi siswa membaca karya sastra. Apalagi dikaitkan dengan materi pembelajaran Bahasa Indonesia, seperti materi resensi pada kelas XI dan XII di SMA.

Pada kenyataannya, sebagian besar siswa mengadopsi contoh resensi fiksi dari internet. Hanya sebagian kecil siswa yang betul-betul membaca dan membuat resensi sesuai dengan  yang diharapkan guru.

Setelah diadakan dialog dan pendekatan dengan siswa, mereka memberikan alasan beragam. Di antaranya, kurangnya jumlah buku atau novel sastra di perpustakaan, bahasanya kurang menarik, malas membaca fiksi yang cenderung panjang. Banyak lagi alasan klise.

Wajar saja, penemuan sastrawan Taufik Ismail yang mengadakan penelitian, minat baca siswa SMA di Indonesia nol persen dibandingkan dengan minat baca siswa di negara lain.

Pada awalnya, saya berpikir, ini barangkali hanya di SMA tempat saya mengajar. Ternyata, dari perbincangan dengan guru-guru dalam pertemuan  di tingkat kabupaten maupun provinsi, masalah ini ternyata menyeluruh.

Sebagian besar guru mengeluhkan minat baca siswa terhadap sastra yang benar-benar memprihatinkan.

Mereka tidak tahu lagi dengan cerita Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Atau, Salah Asuhan, Robohnya surau Kami, Pada Sebuah Kapal, Bako dan lain-lain. Mereka tahu Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, tapi bukan karena membaca, melainkan menontonnya melalui film di bioskop.

Begitu juga dengan Novel Negeri 5 Menara karya A Fuadi yang juga sudah difilmkan. Padahal karya aslinya jauh lebih bagus dari film.

Suatu karya sastra melahirkan persoalan kemanusiaan. Di balik karya sastra itu tersimpan nilai-nilai moral yang akan memanusiakan manusia.

Dalam sastra, persoalannya, bagaimana peristiwa diciptakan atas perpaduan antara fakta dan imajinasi. Melalui poin di atas,  peristiwa diciptakan dengan menggunakan bahasa sebagai medium utama.

Sejarah merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Bahwa dengan membaca karya sastra, nilai-nilai moral yang baik dapat diserap pembaca, masuk ke dalam sanubari dan pantas diteladani.

Inilah yang menjadi pokok persoalan saat ini. Bagaimana siswa bisa meneladani nilai moral yang positif dari suatu karya sastra yang akan mempengaruhi karakter siswa jika mereka tidak berminat membaca karya sastra.

Jawabannya berpulang pada kita semua. Terutama kita guru bahasa Indonesia, orang tua dan masyarakat.

Sebagai guru, terutama kepada rekan-rekan sejawat, guru bahasa Indonesia, mari dengan penuh kesabaran, kesungguhan, kita memberikan contoh teladan dan memotivasi siswa secara terus-menerus. Melalui penugasan pembelajaran sastra, misalnya.

Mudah-mudahan proses yang kita lakukan akan membuahkan hasil siswa kembali tertarik dan akan mengapresiasi sastra lebih baik. Tanggung jawab guru, terutama guru Bahasa Indonesia, mengambil langkah yang tepat dalam pembelajaran sastra dengan meningkatkan pemberian tugas dan latihan, menulis cerpen, puisi, melengkapi pantun, resensi, mengkliping karya sastra dan lain sebagainya.

Dengan kesabaran dan keteladanan, motivasi yang kita berikan pada siswa membuat mereka tertarik untuk membaca karya sastra sekaligus mengapresiasinya.

Sekali lagi, sastra memanusiakan manusia. Karakter siswa sekarang berpengaruh terhadap masa depan bangsa. Generasi muda sekarang memberi warna Indonesia pada masa datang. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar