Kamis, 03 Juli 2014

Apresiasi Sastra dan Karakter Bangsa

Oleh: Kalis Mardi Asih

Moral atau karakter adalah unsur isi yang tak dapat dipisahkan dari karya sastra. Karya sastra adalah karya estetis yang memiliki fungsi untuk menghibur serta memberi kenikmatan emosional dan intelektual. Pandangan Aristoteles mengenai teori mimetic menyatakan dalam proses penciptaan sastrawan tidak semata-mata meniru kenyataan, melainkan sekaligus menciptakan sebuah ”dunia” dengan kekuatan kreativitasnya.

Aristoteles memandang sastra sebagai sesuatu yang tinggi dan filosofis, bahkan mempunyai nilai lebih tinggi dibanding karya sejarah (Luxemburg dkk, 1992 : 16-7). Pesan religius dan keagamaan serta pesan kritik sosial yang senantiasa lekat dalam karya sastra menyebabkan sastra mendapat tempat khusus dalam kurikulum pendidikan kita, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagaikan cat warna dalam karya seni lukis. Sayangnya, dewasa ini isu tentang nasionalisme anak bangsa dipertanyakan karena fenomena produk budaya asing yang lebih digemari daripada produk dalam negeri. Film-film serta lagu-lagu Barat dan Korea lebih diminati remaja kita dibanding hasil karya anak negeri. Mereka fasih bernyanyi atau melafalkan bahasa asing untuk berkomunikasi dengan teman sejawat.

Tanpa disadari, produk-produk turunan seperti pakaian, makanan, dan aksesori dari negara asing pun laris manis menjajah industri dalam negeri. Produk budaya asing tak berarti buruk, namun produk budaya lokal pasti lebih kaya dan mengajarkan nilai-nilai kearifan dan kebangsaan dalam bermasyarakat.

Bahasa sebagai bagian peradaban yang paling tak dapat kita pisahkan dari keseharian karena kebutuhan untuk berkomunikasi serta bersosialisasi adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya. Banyak akademisi dan ahli bahasa yang kemudian meneliti bahasa. Mayoritas dari penelitian itu menghasilkan hipotesis mengenai tingkat kemudahan masing-masing bahasa saat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satunya adalah anggapan bahwa bahasa asing lebih ekspresif digunakan di kalangan para remaja kita yang sedang memasuki fase pubertas. Namun, apakah benar masalahnya ada pada unsur struktur kebahasaan? Apakah generasi muda kita memikirkan unsur intrinsik bahasa dalam menyerap produk-produk budaya? Bagaimana metode analisis wacana dan sistem pembelajaran yang tepat untuk menjadi solusi degradasi moral bangsa?

Selama ini, ruang-ruang belajar di sekolah tampak mati. Pembelajaran seolah-olah terjadi, namun kenyataannya yang ada hanya tak lebih dari sekadar ceramah teori. Setelah mendapat teori, siswa kemudian dituntut berproduksi atau berkarya, tak peduli bagaimana kualitas karya tersebut.

Hal inilah yang menyebabkan kita menghasilkan banyak karya sastra, namun tak pernah menyumbangkan ilmu sastra untuk dunia ilmu pengetahuan. Kita juga tak terdidik menjadi bangsa yang kritis karena ada satu jenjang pembelajaran yang kita lewati, yakni apresiasi karya.

Stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra secara objektif dan ilmiah tentang karakteristik khusus sebuah karya. Nurgiyantoro (2007: 280) menyatakan kajian stilistika dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan antara apresiasi estetis (perhatian kritikus) di satu pihak dengan deskripsi linguistik (perhatian linguis) di pihak lain.

Dua unsur ini dapat diobservasi dengan bebas tanpa keharusan dari titik mana dahulu kita harus berangkat sebab baik linguistik maupun wawasan estetis-literer dapat saling menstimulasi. Hal tersebut tampak dari unsur-unsur dalam stile yakni unsur leksikal atau diksi, unsur gramatikal yang mengacu pada struktur kalimat, serta unsur retorika atau cara penggunaan bahasa untuk mendapatkan efek estetis.

Kompleksitas dalam stilistika memang bukan hal yang mudah, namun dengan mengasah kepekaan siswa terhadap hal-hal seperti ini diharapkan akan lahir kembali karya-karya sastra yang monumental sehingga produk budaya bangsa sendiri akan dicintai dan mendapat penghargaan dari generasi penerus bangsa.

Dalam praktik di kelas, guru dapat menciptakan suasana yang nyaman ketika siswa diberi waktu khusus untuk menyelesaikan bacaan, menonton film, atau menikmati sebuah lagu. Guru juga dapat mengajarkan siswa untuk membandingkan karya-karya yang monumental pada zamannya, misalnya karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) yang menyajikan agama (syariat) sebagai sesuatu yang diyakini para tokohnya dengan karya-karya A.A. Navis yang menyajikan unsur keagamaan dan religiositas secara koheren dalam cerita.

Guru juga dapat menghadirkan karya-karya masa kini seperti membandingkan karya Ayu Utami, Mustofa Bisri, Darwis Tere Liye, Andrea Hirata, dan lain-lain. Melalui kegiatan semacam itu, siswa akhirnya mengerti bahwa sebuah karya merupakan anak zaman yang memiliki pengaruh penting dalam kehidupan berbangsa.

Guru diharapkan dapat memberikan kesimpulan bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang dapat mengubah persepsi dan kehidupan banyak orang, bukan hanya karya komoditas kejar tayang. Empat pilar penyangga budaya yakni mitos, logos, ethos, dan patos juga wajib diinternalisasikan dalam kegiatan pembelajaran. Mitos adalah kesamaan cita-cita dan nilai-nilai norma yang diusahakan dan dijunjung bersama oleh pemiliknya.

Mitos ini berarti menyangkut ideologi atau falsafah hidup bangsa. Mitos didukung logos, yakni pemikiran yang diasah untuk mewujudkannya serta ethos yang merupakan kemampuan mengorganisasi berbagai kemampuan manusia (cipta, rasa, dan karsa). Dua hal ini diterjemahkan dalam sistem pendidikan nasional dan atau kurikulum.

Produk budaya yang dihasilkan erat kaitannya dengan patos yang tak lain merupakan kemampuan yang muncul dari pengalaman manusia. Demikianlah, kegiatan apresiasi (di dalamnya juga kritik sastra) adalah upaya untuk memperkaya wawasan dalam empat pilar penyangga budaya tersebut.

Seiring perkembangan zaman kapitalistik, peningkatan frekuensi serta kapasitas produksi industri menjadi hal yang diutamakan. Semakin banyak penerbit-penerbit indie bermunculan sehingga siapa pun dengan bebas dapat menerbitkan karyanya. Terlebih di zaman teknologi informasi, siapa saja dapat mengunggah karya melalui laman pribadi (blog) atau media sosial.

Diperlukan kemampuan dan kepekaan khusus agar kita dapat menempatkan karya-karya yang memang bermutu pada posisi yang semestinya. Melalui pendekatan stilistika dalam kegiatan apresiasi sastra, generasi muda kita akhirnya dapat menilai kualitas produk-produk budaya. Dan akhirnya, semoga cita-cita pendidikan untuk membendung degradasi moral dapat tercapai melalui sesuatu yang indah: karya sastra!

Kalis Mardi Asih (kalis.mardiasih@gmail.com)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret 

Sumber: http://www.harianjogja.com/baca/2013/09/03/mimbar-kampus-apresiasi-sastra-dan-karakter-bangsa-443741

Diposting harianjogja pada Selasa, 3 September 2013 

Minggu, 29 Juni 2014

Kreativitas Guru dalam Sastra

Oleh: Helmiyati (Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Batang Anai )

Pengajaran sastra di sekolah sampai kini dirasakan belum sesuai harapan. Kondisi disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama minimnya buku-buku sastra di perpustakaan sekolah dan kurangnya minat siswa membaca.

Walaupun kita tahu pengajaran sastra di sekolah memiliki peluang besar untuk menghasilkan apresiasi agar siswa memahami pentingnya sastra. Kondisi tersebut juga diperburuk kurangnya pengusaan guru dalam pelajaran sastra.

Seperti penguasaan materi yang diajarkan, pendekatan dan strategi yang digunakan, serta wawasan guru dalam mengikuti perkembangan sastra di luar buku teks. Sebab dalam mengajarkan sastra memerlukan berbagai teori, pengetahuan dan keterampilan, serta kemauan dan kreativitas tersendiri.

Seorang guru harus merencanakan, melaksanakan dan mengembangkan kurikulum dengan kreativitas yang tinggi. Bentuk-bentuk kreativitas yang dapat dilakukan guru di antaranya adalah menulis sinopsis karya sastra.

Guru sastra harus banyak membaca karya sastra. Novel, cerpen dan puisi sehingga bisa menjadi bahan yang sangat berguna untuk menambah wawasan.

Karya sastra yang dibaca guru (seperti novel, cerpen, puisi) yang dianggap sesuai dengan bahan-bahan yang diajarkan kepada siswa sebaiknya ditulis sinopsisnya.

Menerapkan pendekatan dan strategi yang tepat dalam mengajar. Strategi mengajar untuk meningkatkan apresiasi dan menanamkan kecintaan terhadap karya sastra adalah kerja seorang guru, mendekatakan siswa dengan karya sastra.

Teknik atau model yang dipilih guru sangat bergantung kepada keadaan dan lingkungan siswa itu sendiri. Siswa harus membaca karya sastra tersebut secara utuh, berusaha memahami, menghayati, menilai, menganalisis, dan akhirnya memiliki sikap menghargai karya sastra.

Model pembelajaran apresiasi sastra yang dapat dilakukan sangat banyak dan bisa variatif. Misalnya menulis puisi bersama. Rancanglah suasana kelas seperti lingkaran. Guru dan siswa mencari sebuah kata yang bisa dijadikan topik puisi.

Guru mengondisikan siswa kepada suatu pemahaman yang kurang lebih sama terhadap topik tersebut. Masing-masing siswa menyumbangkan satu kata. Guru menulis kan setiap kata yang diucapkan siswa di papan tulis dalam larik dan bait, menyunting puisi yang mereka buat bersama dengan memperhatikan rima, irama, diksi, dan makna.

Guru boleh mempertimbangkan kembali kemungkinan kata-kata lain yang agaknya lebih cocok atau sesuai untuk puisi tersebut. Menulis puisi berdua. Model kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara masing-masing siswa mencari sebuah judul dan menuliskan 5-6 kata untuk larik pertama.

Puisi tersebut dipertukarkan dengan teman sebelahnya dan menyambungnya satu larik lagi. Begitulah seterusnya sampai puisi tersebut selesai. Puisi yang sudah selesai dibacakan ke depan kelas. Kegiatan dilanjutkan dengan tanya jawab. Dalam membaca puisi dapat dilakukan dengan berbagai variasi. Tugas guru yang utama di sini adalah memberikan rangsangan-berpikir. Guru bisa mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan isi puisi seperti menciptakan persoalan-persoalan kehidupan yang dibicarakan oleh penulisnya, tentang bentuk-bentuk puisi, tentang rima dan irama.

Pertanyaan bisa juga bernada menguji siswa tentang pendapat dan tanggapan mereka mengenai puisi tersebut.

Konsep dan tanggapan apapun yang diungkapkan siswa, sebaiknya guru menerima dan menghargainya. Pendapat dan tanggapan seorang siswa dapat dijadikan bahan diskusi yang menarik untuk dibahas. Logis atau tidaknya pendapat yang dikemukakan siswa dapat dirasakannya sendiri setelah ditanggapi oleh temannya. Begitu juga dalam membaca cerpen bersama.

Siswa membaca cerpen dalam kelompok kecil. Jika cerpen yang dibaca sama, maka kegiatan lanjutannya adalah mendiskusikan isi dan struktur cerpen secara klasikal. Tujuan yang diharapkan adalah ungkapan perbedaan tanggapan dan pendapat siswa tentang cerpen tersebut.(*)

Jumat, 13 Juni 2014

Rendah, Apresiasi Siswa Terhadap Karya Sastra

Oleh: Hasnelti (Guru SMAN 2 Lubukbasung)

Sastra adalah sastra. Sastra bukanlah mengadopsi manusia, melainkan melahirkan manusia yang beragam. Di antara manusia yang dilahirkannya, Siti Nurbaya, Zainuddin, Ikal, Ibu Muslimah, Alif dan beratus tokoh lainnya yang lahir dan dibidani  penulis terdahulu dan pengarang mutakhir.

Dunia sastra tidak berhenti menggeliat. Bergerak dinamis dan berkembang pesat sesuai dengan kemajuan dunia. Sebagai guru dan penikmat sastra, saya senang dan bersyukur dengan kemajuan sastra di Indonesia akhir-akhir ini. Tapi, di sisi lain, apresiasi siswa terhadap sastra semakin berkurang.

Sebagai guru Bahasa Indonesia yang mengajar lebih kurang 30 tahun, saya merasakan betapa kecilnya persentase siswa yang membaca karya sastra. Mereka tidak lagi mengenal karya angkatan Balai Pustaka, karya angkatan 30-an maupun karya mutakhir.

Saya yakin, masih banyak guru yang tidak henti memotivasi siswa membaca karya sastra. Apalagi dikaitkan dengan materi pembelajaran Bahasa Indonesia, seperti materi resensi pada kelas XI dan XII di SMA.

Pada kenyataannya, sebagian besar siswa mengadopsi contoh resensi fiksi dari internet. Hanya sebagian kecil siswa yang betul-betul membaca dan membuat resensi sesuai dengan  yang diharapkan guru.

Setelah diadakan dialog dan pendekatan dengan siswa, mereka memberikan alasan beragam. Di antaranya, kurangnya jumlah buku atau novel sastra di perpustakaan, bahasanya kurang menarik, malas membaca fiksi yang cenderung panjang. Banyak lagi alasan klise.

Wajar saja, penemuan sastrawan Taufik Ismail yang mengadakan penelitian, minat baca siswa SMA di Indonesia nol persen dibandingkan dengan minat baca siswa di negara lain.

Pada awalnya, saya berpikir, ini barangkali hanya di SMA tempat saya mengajar. Ternyata, dari perbincangan dengan guru-guru dalam pertemuan  di tingkat kabupaten maupun provinsi, masalah ini ternyata menyeluruh.

Sebagian besar guru mengeluhkan minat baca siswa terhadap sastra yang benar-benar memprihatinkan.

Mereka tidak tahu lagi dengan cerita Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Atau, Salah Asuhan, Robohnya surau Kami, Pada Sebuah Kapal, Bako dan lain-lain. Mereka tahu Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, tapi bukan karena membaca, melainkan menontonnya melalui film di bioskop.

Begitu juga dengan Novel Negeri 5 Menara karya A Fuadi yang juga sudah difilmkan. Padahal karya aslinya jauh lebih bagus dari film.

Suatu karya sastra melahirkan persoalan kemanusiaan. Di balik karya sastra itu tersimpan nilai-nilai moral yang akan memanusiakan manusia.

Dalam sastra, persoalannya, bagaimana peristiwa diciptakan atas perpaduan antara fakta dan imajinasi. Melalui poin di atas,  peristiwa diciptakan dengan menggunakan bahasa sebagai medium utama.

Sejarah merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Bahwa dengan membaca karya sastra, nilai-nilai moral yang baik dapat diserap pembaca, masuk ke dalam sanubari dan pantas diteladani.

Inilah yang menjadi pokok persoalan saat ini. Bagaimana siswa bisa meneladani nilai moral yang positif dari suatu karya sastra yang akan mempengaruhi karakter siswa jika mereka tidak berminat membaca karya sastra.

Jawabannya berpulang pada kita semua. Terutama kita guru bahasa Indonesia, orang tua dan masyarakat.

Sebagai guru, terutama kepada rekan-rekan sejawat, guru bahasa Indonesia, mari dengan penuh kesabaran, kesungguhan, kita memberikan contoh teladan dan memotivasi siswa secara terus-menerus. Melalui penugasan pembelajaran sastra, misalnya.

Mudah-mudahan proses yang kita lakukan akan membuahkan hasil siswa kembali tertarik dan akan mengapresiasi sastra lebih baik. Tanggung jawab guru, terutama guru Bahasa Indonesia, mengambil langkah yang tepat dalam pembelajaran sastra dengan meningkatkan pemberian tugas dan latihan, menulis cerpen, puisi, melengkapi pantun, resensi, mengkliping karya sastra dan lain sebagainya.

Dengan kesabaran dan keteladanan, motivasi yang kita berikan pada siswa membuat mereka tertarik untuk membaca karya sastra sekaligus mengapresiasinya.

Sekali lagi, sastra memanusiakan manusia. Karakter siswa sekarang berpengaruh terhadap masa depan bangsa. Generasi muda sekarang memberi warna Indonesia pada masa datang. (*)